Sistem Perlindungan Sosial di Asean
Perlindungan Sosial adalah seperangkat kebijakan dan program kesejahteraan sosial yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan (vulnerability) melalui perluasan pasar kerja yang efisien, pengurangan resiko-resiko kehidupan yang senantiasa mengancam manusia, serta penguatan kapasitas masyarakat dalam melindungi dirinya dari berbagai bahaya dan gangguan yang dapat menyebabkan terganggunya atau hilangnya pendapatan.
ASEAN yang beranggotakan sepuluh negara (Brunei Darussalam, Cambodia, Laos, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Viet Nam) memiliki karakteristik yang beragam, dilihat dari jumlah penduduk, luas wilayah, latar belakang ekonomi, budaya, maupun politiknya. Berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduknya, misalnya, ASEAN terdiri dari negara besar dan padat penduduk (Indonesia) hingga negara mini (Singapura). Secara ekonomi, ASEAN terentang dari negara kaya (Brunei Darussalam dan Singapura) hingga negara miskin (Camboja, Laos dan Myanmar).Akibatnya, kemampuan dan pengalaman negara-negara tersebut dalam menegakkan dan mengembangkan perlindungan sosial sangat beragam.
Secara umum, pertumbuhan ekonomi di kawasan ini telah mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi saja ternyata tidak mampu menjamin keberlanjutan penurunan kemiskinan. Kelompok-kelompok masyarakat baru yang rentan, seperti penganggur, pekerja migran, dan pekerja anak kini cenderung meningkat jumlahnya, terutama paska badai krisis Asia yang menerpa kawasan ini pada tahun 1997. Rendahnya investasi negara untuk jaminan sosial, misalnya, telah memperlemah ketahanan negara-negara di kawasan ini dalam menghadapi guncangan tiba-tiba yang ditimbulkan krisis ekonomi.
2. Jenis Perlindungan Sosial di Asean
Kebijakan dan program perlindungan sosial, khususnya untuk konteks negara-negara di kawasan ASEAN, mencakup lima jenis.
1. Pertama, kebijakan pasar kerja (labour market policies) yang dirancang untuk memfasilitasi pekerjaan dan mempromosikan beroperasinya hukum penawaran dan permintaan kerja secara efisien. Sasaran utama skema ini adalah populasi angkatan kerja baik yang bekerja di sektor formal maupun informal, para penganggur, maupun setengah menganggur. Kebijakan ini umumnya terdiri dari kebijakan pasar kerja aktif dan pasif.
· Kebijakan pasar kerja aktif mencakup penciptaan kesempatan kerja, peningkatan kapasitas SDM, mediasi antara pemberi dan pencari kerja.
· Kebijakan pasar kerja pasif meliputi perbaikan sistem pendidikan, penetapan standar upah minimum, pembayaran pesangon bagi yang terkena PHK, keamanan dan keselamatan kerja.
2. Kedua, bantuan sosial (social assistance), yakni program jaminan sosial (social security) yang berbentuk tunjangan uang, barang, atau pelayanan kesejahteraan yang umumnya diberikan kepada populasi paling rentan yang tidak memiliki penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Skema ini umumnya diberikan kepada orang berdasarkan “test kemiskinan” tanpa memperhatikan kontribusi sebelumnya, seperti membayar pajak atau premi asuransi.
Keluarga miskin, penganggur, anak-anak, penyandang cacat, lanjut usia, orang dengan kecacatan fisik dan mental, kaum minoritas, yatim-piatu, kepala keluarga tunggal, pengungsi, dan korban konflik sosial adalah beberapa contoh kelompok sasaran bantuan sosial. Pelayanan sosial, subsidi tunai atau barang seperti Subsidi Langsung Tunai (SLT), kupon makanan (food stamp), subsidi temporer seperti tunjangan perumahan, ‘beras miskin’ (Raskin) dapat dikategorikan sebagai bantuan sosial.
3. Ketiga, asuransi sosial (social insurance), yaitu skema jaminan sosial yang hanya diberikan kepada para peserta sesuai dengan kontribusinya berupa premi atau tabungan yang dibayarkannya. Asuransi kesehatan, asuransi tenaga kerja, asuransi kecelakaan kerja, asuransi kecacatan, asuransi hari tua, pensiun dan kematian adalah beberapa bentuk asuransi sosial yang banyak diterapkan di banyak negara.
4. Keempat, jaring pengaman sosial berbasis masyarakat (community-based social safety nets). Dikenal dengan istilah ‘skema mikro dan berbasis wilayah’ (micro and area-based schemes), perlindungan sosial ini diarahkan untuk mengatasi kerentanan pada tingkat komunitas. Di Indonesia, misalnya, sejak berabad-abad lalu, masyarakatnya sudah kaya dengan budaya dan inisiatif lokal dalam merespon masalah dan kebutuhan rakyat kecil. Di perdesaan dan perkotaan, terdapat kelompok arisan, raksa desa, beas perelek, siskamling, kelompok pengajian, kelompok dana kematian yang secara swadaya, partisipatif, egaliter menyelenggarakan pelayanan sosial. Depsos menyebut sistem perlindungan sosial lokal ini dengan istilah Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM). Asuransi mikro seperti halnya ASKESOS (Asuransi Kesejahteraan Sosial) yang dikembangkan Depsos, asuransi pertanian, dan dana sosial (social funds) juga dapat dimasukan dalam kategori jaring pengaman sosial berbasis masyarakat.
5. Kelima, perlindungan anak (child protection). Selain struktur penduduk ASEAN berusia muda, persoalan sosial yang menimpa anak-anak juga semakin serius di kawasan ini. Kasus-kasus seperti penelantaran anak (child neglect), pekerja anak (child labour), perlakuan salah terhadap anak (child abuse) dan anak jalanan (street children) cenderung meningkat. Perlindungan anak ditujukan untuk menjamin perkembangan kualitas angkatan kerja dimasa depan yang sehat dan produktif. Program perlindungan anak mencakup pendidikan anak usia dini, beasiswa, pemberian makanan sehat di sekolah, perbaikan gizi dan imunisasi anak, dan tunjangan keluarga.
Apabila kelima elemen di atas diterapkan secara tepat, perlindungan sosial dapat memberikan kontribusi yang penting dalam penanggulangan kemiskinan. Sebagai bagian integral dari pembangunan kesejahteraan sosial, perlindungan sosial dapat membantu masyarakat dalam mematahkan lingkaran kemiskinan, karena mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, investasi modal manusia, produktivitas, dan mengurangi kerentanan anggota masyarakat terhadap berbagai resiko.
3. Faktor Penyebab Kurang Efektifnya Penanganan SPS di ASEAN
Sebagian besar negara ASEAN telah memiliki beberapa bentuk sistem perlindungan sosial yang melembaga. Tetapi, kebijakan dan program perlindungan sosial masih dipandang kurang efektif dalam mengatasi problema kemiskinan. Faktor-faktor penyebabnya antara lain:
Pertama, terbatasnya cakupan, yakni hanya mencakup sebagian kecil penduduk yang ‘kaya dan umumnya bekerja di sektor formal.
Kedua, terbatasnya dana dan distribusinya kedalam program-program perlindungan sosial yang kurang tepat.
Ketiga, lemahnya instrumen dan mekanisme implementasi karena seringkali hanya dikopi dari negara-negara maju yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas negara yang bersangkutan.
Keempat, hambatan birokrasi seperti lemahnya perangkat dan penegakkan hukum, hambatan administrasi dan tidak transparansinya kepesertaan dan klaim. Masalah ini tidak jarang menghambat akses penduduk terhadap skema dan manfaat perlindungan sosial yang ditawarkan.
4 Penanganan Untuk Memperkuat SPS di ASEAN
Ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk memperkuat sistem perlindungan sosial di ASEAN.
Pertama, perlindungan sosial seharusnya sudah dirancang jauh sebelum sebuah krisis atau resiko menimpa penduduk sehingga mereka memiliki kesiapan yang cukup dalam menghadapi guncangan.
Kedua, masa kondisi ekonomi yang baik bisa dijadikan momentum untuk menghimpun dana yang cukup untuk menyiapkan dan merancang model dan mekanisme perlindungan sosial yang tepat.
Ketiga, negara-negara ASEAN dapat memilih berbagai skema perlindungan sosial sebagaimana yang telah diterapkan di negara lain, baik di dalam maupun luar kawasan ASEAN, tergantung kepada populasi sasaran dan kapasitas administrasi negara yang bersangkutan.
Keempat, dalam memilih instrumen yang tepat, pemerintah di negara-negara ASEAN harus dapat menjamin bahwa skema tersebut mampu untuk :
a) Memberi perlindungan yang adekuat terhadap penduduk miskin yang paling rentan;
b) Mendorong pentargetan secara efisien;
c) Menghindari budaya ketergantungan pada penerima/peserta dengan membatasi besaran dan durasi pertanggungan;
d) Sejalan dengan kebijakan makro ekonomi dan insentif fiskal; dan
e) Mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam desain program, implementasinya, serta penggunaan sumber-sumber pendanaan.